Kutemukan kenangan di buku harian, tentang malam dan kesunyian: tentang penantian tanpa musim dan angin, hanya sebuah waktu, yang terlalu pendek untuk akhirnya tahu sepucuk surat cintamu urung terkirim; melapuk dan menua, sepertiku sekarang, sepertimu sekarang. Kamu di mana, sekarang?
Kelam menengadah muka di ujung malam; menjadi halaman-halaman kosong dari buku harian yang gagal membangunkan rumah bagi waktu kita yang enggan menjelmakan kuda pacu agar bisa kita melaju ke dalam waktu; di mana kita akan duduk, sambil menganyam kerudungmu agar bila nanti turun hujan bisa kusembunyikan wajahmu dari kebekuan yang menarikmu ke dalam masa silam sewaktu sekuntum bunga seroja menengadahkan kekelaman dari hujan yang menjelma air matamu.
Di gurun yang tiada terik, hujan tiba sepanjang senja, akankah pada kalbumu merentang kelambu dari benang paling halus kerudung kalbumu? Kerudung kenangan terbuat dari sehelai bulu matamu yang telah jadi kaku sebab dingin dari hujan; kau resapi dengan pandangan penuh duka di antara suara-suara malam yang mengabarkan keberangkatan? bahwa hari itu kita berpisah. Pada hujan sewaktu kita gagal melukis nama kita di kaca jendela. Kita lalu sama beringsut dalam dingin kaku, ingatkah kau?
Aku mencarimu di antara hujan yang merobohkan pohon-pohon, merobohkan pula jembatan-jembatan waktu—itu yang kutakutkan; dadaku menyesak luruh lunglai, terhuyung menembus kabut mencari sepanjang batas gapai, alangkah rindu kalbuku. “Ada apa?”
Oh di mana jalan agar petang mengantarkan kelam dan bisa lagi kutempuh jalan ketika puisi menjelma hujan sewaktu wajah kita memadahkan asmara di kabut kelam kota saat sekuntum bunga seroja menengadahkan kekelaman dari hujan yang menjelma air matamu usai membaca surat terakhir yang urung mengatakan aku cinta padamu.
Sabiq Carebesth | Di Kamar, Kalibata, Desember 2012
Like this:
Like Loading...
Related