31 Desember 2017
Rupanya senja desember tahun ini telah berlalu, hanya tinggal tersisa sedikit, kenapa kita memikirkan waktu? Kenapa kita mengenang yang berlalu?
Esok senja itu akan kembali juga, senja yang sama barangkali. Tapi hati kita baru, harapan kita baru, dan karena waktu selalu baru. Kehadiran waktu adalah kehadiran kebaruan—dalam kerjadian-kejadian; sebagian untuk dikenang, sebagian lain berlalu begitu saja; waktu terkadang ringan, terkadang juga berat. Seperti halnya kejadian-kejadian—yang terkenang karena terasa berat, yang terlupa karena ringan.
Kita sebenarnya menghendaki yang berat—sesuatu yang berbobot, kita ingin meyakini bahwa waktu bukan hampa, atau hayalan tentang kosong, dia memiliki volume, ukuran, dan kepada waktu kita menimbang diri. Tanpa waktu kita adalah kefanaan yang ringan, kosong dan tidak berarti. Dengan waktu kita menyatu, memadat, menjadi nyata, bisa dipegang dan dikenang—apa yang kita kenang kalau bukan ‘ingatan’? Kita hidup dengan ingatan-ingatan; tapi ruang bagi ingatan kita terbatas, tidak semua kita kenang, hanya hal-hal yang secara subjketif sangat penting kita jadikan kenangan, sebagai sesuatu yang layak menjadi bagian, karena telah menggenapi susunan kehidupan kita. Ya, barangkali hidup memang sebuah cerita, tanpa cerita yang tersusun dari ingatan-ingatan, hidup sulit dimaknai, sulit dibayangkan adanya. Benar kiranya, hidup memang sebuah cerita, sebuah kisah. Kita menyusun ceritanya berdasar potongan-potongan waktu; yang di dalamnya kita menerima menjadi pemeran utama, atau dengan lapang dada dan sangat bijak membiarkan yang lain menjadi aktor utamanya—kita sendiri yang memilih menjadi paduan suara, atau bahkan cuma penonton. Tapi bukankah itu semua melengkapi? Dan kehidupan juga?
Hidup adalah sebuah cerita, sebuah kisah—kisah tentang kita, sebagai manusia, sebagai mahluk. Hanya Tuhan yang maha luas, dengan keluasannya memberi tempat buat semua kisah manusia, kisah dari mahluknya, sementara kita manusia terbatas, sempit, tak mungkin menampung kisah semua manusia, bahkan kerap hanya mampu menampung cerita sendiri. Itu saja hanya sebagian, hanya yang baik-baik saja, sisanya—jika saja bisa, kita buang dalam tong sampah, atau kita biarkan menghilang bersama aliran sungai waktu yang entah menuju ke mana…
Mari kita jujur pada diri sendiri, kita mulai dari mana? Kita ingin mengatakan apa? Harapan baru? Ada, atau mengada-ngada, tentu saja ada, tapi kenapa bila jadi rahasia saja?
Bahwa kita memiliki impian, bahwa kita harus mengerjakan sesuatu; tak ada yang benar-benar patut disesalkan dari pilihan hidup hanya karena menimbang hasilnya sekarang. Itu sama sekali tidak layak jadi ukuran penyesalan. Kita mesti menghargai keputusan dan pilihan kita. Terlalu banyak hal yang bisa mempengaruhi hasil, atau karena hasil yang lain ingin mengajarkan dan memberi kita yang lain pula, membawa dan menuntun kita pada hakikat yang lain, yang lebih tepat dan layak bagi kita. Kita hanya harus melapangkan hati, menarik kebaikan dan pelajaran sambil bersiap merayakan hidup yang baru.
*
Sungguh saya bersukur atas kehidupan saya sekarang. Kehidupan yang selalu saya lapisi kabut agar tidak semua orang tahu. Kenapa saya menginginkan demikian? Entahlah tapi saya sulit memberitahu hidup saya secara terbuka. Saya merasa dalam diri saya ada pribadi seperti saya yang cukup jadi teman baik saya, diri saya sendiri. Saya bicara dengannya, memberitahunya tentang semua dan melanjutkan perjalanan bersamanya. Saya merasa tidak sendiri, tidak sepi, selalu ada yang serupa saya dalam diri saya, dan dengannya saya berkisah dan berbagi. Saya percaya Tuhan tidak akan membiarkan seseorang benar-benar sendirian dan kesepian.
Tahun ini tentu saja saya memiliki harapan—tapi mestikah saya kisahkan di sini? Tidak bolehkah itu menjadi rahasia saya saja?
Saya ingin menyebutkan ini dan itu, tapi tidakkah itu keinginan biasa dan terlalu fana? Apakah saya harus bicara dengan orang lain seolah saya kesepian dan tidak memiliki seseorang dalam hati saya yang biasa dan bisa saya ajak berbagi dengan lebih tulus dan rahasia?
Saya khwatir bahwa bila saya mengatakannya, saya tidak benar-benar jujur dengan ungkapan saya. Saya takut bila saya berkata-kata—sesungguhnya saya sedang membohongi diri saya sendiri dan kenapa saya harus menghibur anda dengan harapan-harapan baik semetara tiap orang mimiliki harapannya sendiri? Apakah saya dengan ini terlalu merekahkan egoisme? Jika iya, ah tapi apakah kita sama sekali tak punya hak tentang keberadaan kita senditi, tidak boleh kah kita memilih dan mencintai rahasia? Apakah kita harus saling mengenal hanya karena kita berbagi kata-kata?
Tidak tuan dan nona yang baik, maksud saya tidak demikian. Saya hanya ingin kata-kata lebih berarti, dan bagaimana kata-kata bisa benar-benar tenang dalam keheningannya sendiri—meski hanya sesekali, biarlah kata-kata menikmati waktunya sendiri, harapan dan impiannya sendiri tanpa mesti kita interupsi dengan hasrat dan keinginan kita sendiri yang terkadang—tak benar-benar serius atau kita inginkan kecuali hanya untuk kewajaran yang semenjana saja.
*
Barangkali itu yang saya inginkan, hidup lebih ke dalam, hidup lebih kepada kejujuran dalam ruang diri yang nyata dan benar, belajar dengan tenang dan dalam keheningan bukankah bisa begitu banyak pengalaman kita miliki? Lebih dari pada kepalsuan di dunia ramai yang semu bahkan memang sengaja palsu? Dunia palsu yang bahkan tak bisa untuk sekedar kita jadikan bahan menulis sajak-sajak tentang masa lalu! Tapi bagaimana pun itu kehidupan juga?
Tuhan yang maha kasih dan pengertian, maafkan bila dalam hal ini, dalam kata-kata dan doa, saya telah merencanakan kepalsuan. Sungguh tidak maksud saya demikian, kecuali dikarenankan saya berharap hidup sebagaimana isyarat yang engkau kehendaki dari hidup saya untuk menuju ke sana, ke jalan di mana engkau memang menghendaki saya menjadi bagian dan jika mungkin menjadi bermanfaat untuk bumiMu. Saya juga yakin teman-teman saya demikian, maka kami memohon petunjuk dan berkahMu…
Selamat datang tahun yang baru..
Jakarta, 2018
Sabiq Carebesth
Like this:
Like Loading...
Related