Dimana puisi yang itu
Yang dulu kau tulis disenja hari
Saat sepi
Dengan harapan yang meninggi
Usai menggambar jendela
Dalam tembok pengap nan hampa
Puisi yang melihat kemungkinan
Tentang kehidupan yang bermahkota kebebasan
Seolah surga pertama dihadapan
Dan kenyataan bertampik
Tidak lebih dalam dari puisi yang itu
Yang dulu bermahkota kematian
Namun menunjukan jalan panjang
Yang kau bebasa menyusur
Walau sepanjang jalan dalam kegelapan
Puisi tidak punya mata
Untuk memilih kata-kata
Puisi tidak punya telinga
Untuk mendengar bisikan kelana
Puisi tidak punya kekuatan
Untuk menerjemahkan sabda langit
Puisi tidak punya kuas dan kanvas
Untuk melukis keindahan
Puisi adalah kekosongan
Dalam beratnya kefanaan
Gambar dari luka peradaban
Yang urung menghilang
Tanpa sebaris pun kenangan
Puisi adalah musim waktu
Memoria agar hidup tak jadi gila
Sebab bertaruh masa depan
Dalam kekosongan tanpa ingatan
Puisi adalah zaman
Puisi adalah ingatan
Museum bagi jiwa yang kehilangan
Waktu yang menjelma kenangan
Agar tak musnah dalam kegilaan
Dari zaman yang gemar lupa
Puisi adalah senandung
Dari kidung keheningan
Paling sunyi dan rahasia
Puisi adalah tarian
Dari kelelahan
Usai rindu dan kehilangan
Puisi adalah persembunyian
Dari kebermaknaan yang terancam
Oleh omong kosong dan rayuan
Dari pemuja kesombongan
Dan kedangkalan
Puisi adalah doa
Yang urung terlafaldzkan
Oleh ketidakberdayaan
Puisi adalah kebohongan
Dari kemerdekaan yang terpasung
Oleh kebodohan dan ketakutan
Puisi adalah suara-suara
Yang teredam
Oleh bising kota
Dalam riuhnya lagu disko
Dalam gemuruhnya seruan
Dan kebohongan
Puisi adalah jendela kecil
Dalam kehampaan tembok
Yang memenjaramu dalam kebimbangan
Dari rasa hampa yang menimpa
Oleh puisimu sendiri
Yang begitu sunyi
Puisi adalah puisi
Kawan bagi kematian
Yang begitu sunyi
Esok hari masihkan kau menulis puisi?
Atau senja nanti ingkar janji
Sembunyi dalam puisi-puisi….
Jakarta, 08 mei 2010 | Sabiq Carebesth
Related